Kamis, 09 Agustus 2012

Veteran Pahlawan atau Veteran Pelawan? Menimbang Veteran dalam Sejarah Lokal

Selain menulis Sumatra Barat; Pos Terdepan Republik, Audrey R. Kahin juga selaku editor mengumpulkan tulisan-tulisan serupa dalam Pergolakan Daerah pada Awal Kemerdekaan yang terbit pada 1990. Pertama kali terbit pada 1985 dengan judul Regional Dynamics of the Indonesian Revolution. Audrey Kahin membagi tiga bab: Daerah-Daerah yang Bebas dari Kekuasaan Luar, Medan Pertempuran bagi Negara-Negara yang Bersaing, dan Daerah-Daerah yang didominasi Belanda. Anton E. Lucas menulis Peristiwa Tiga Daerah; Revolusi Sosial atau Pemberontakan?.Adapun Robert Cribb menulis Jakarta; Kerjasama dan Perlawanan dalam Kota yang Diduduki. Berbeda dengan disertasi keduanya yang telah dibukukan, dalam Pergolakan Daerah pada Awal Kemerdekaan kedua tulisan itu tersaji dalam bentuk yang lebih ringkas.
Beberapa karya sejarah lainnya yang juga membahas sudut pandang lokal terhadap kemerdekaan nasional. Pertama, John R. W Smail menulis Bandung in the the Early Revolution1945-1946; a Study in the Social History of the Indonesian Revolution yang terbit pertama kali pada1964 yang terjemahannya berjudul Bandung Awal Revolusi 1945-1946 terbitan Ka Bandung Komunitas Bambu pada 2011. Kedua, Robert Cribb.yang menulis Gangster and Revolutionaries; the Jakarta’s People Militia and the Indonesian Revolution yang terbit lagi pada 2009. Terdapat dua versi terjemahannya: Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1949: Pergulatan antara Otonomi dan Hegemoni terbitan Pustaka Utama Grafiti pada 1990 dan Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949 pada 2010. Lalu ketiga yang merupakan kajian terbaru, Wenri Wanhar yang menulis Peristiwa Gedoran Depok; Revolusi Sosial di Tepi Jakarta 1945-1955 pada 2011 lalu.
Perbedaan pada masa revolusi (1945-1949) begitu mudah mengemuka dan terpercik menjadi konflik sosial sebagaimana Anton E. Lucas tuliskan dalam The Bamboo Spear Pierces the Payung; the Revolution against the Bureucratic Elite in North Central Java in 1945 yang terbit pertama kali pada 1980, bermula dari Disertasi untuk Australian National University. Delapan tahun kemudian terjemahannya terbit berjudul Peristiwa Tiga Daerah; Revolusi dalam Revolusi terbitan Pustaka Utama Grafiti pada1989. Dua tahun kemudian, Lucas terbitkan One Struggle One Soul; Region and Revolution in Indonesia terbitan Asian Studies Association of Australia in association with Allen and Unwim pada 1991 yang menyempurnakan edisi pertama. Baru tujuhbelas tahun kemudian terjemahannya terbit oleh Resist Book. Ilmu Sejarah memandang lumrah suatu karya revisi sejarah selama terpenuhi setidaknya salah satu dari tiga syarat: bukti baru (novum), sudut pandang baru, dan/ atau penerapan teori baru. Itulah yang terjadi pada Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang karya Benedict Anderson dan Kamus Sejarah Indonesia karya dua sejarawan tersohor, Robert Cribb dan Audrey Kahin—istri dari George McTurnan Kahin yang menulis Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia 1945-1949. Kedua karya tulis sejarah tersebut sudah terdapat versi terjemahannya.
Mencermati judulnya saja, “tombak bambu yang menusuk payung” sudah membuat Disertasi itu menjadi menarik. Lebih menarik lagi, kata “payung” oleh Anton E. Lucas tidak lantas diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris begitu saja menjadi “umbrella” tetapi tetap sebagaimana kata Bahasa Indonesianya. “Payung” merupakan lambang priyayi dan pangreh praja, tidak hanya melindungi dari terik panas dan basah hujan namun melambangkan kedudukan yang lebih tinggi daripada rakyat biasa. Adapun “bambu” merupakan lambang kesederhanaan dan kesehajaan setiap rakyat kecil, namun senjata ampuh ‘mengusir’ penjajah dan musuh. Setiap kita pasti akrab dengan gambar dan cerita bambu runcing semasa perjuangan mempertahankan kemerdekaan setiap kali kita merayakan Hari Kemerdekaan. Bila Anda menganut falsafah “no document no history”, maka Anda kelak kecewa karena sepenuhnya Anton E. Lucas menjalin untaian peristiwa menggunakan metode sejarah lisan alias wawancara.
Dari ketiga golongan yang bergerak menyingkirkan elite lama seperti kepala desa, camat, wedana, bupati, dan pemimpin lama lainnya; golongan kiri merupakan bagian terbesar. Golongan kiri sendiri pun terbagi tiga. Pertama, para mantan pemberontak komunis 1926 yang pernah dibuang ke Boven Digul dan merasuk ke dalam Barisan Pelopor dan Badan Pekerja di Tegal dan Brebes, Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI), dan Gabungan Badan Perjuangan Tiga Daerah (GBP3D); mereka sama sekali menolak kompromi dan hendak menjungkirbalikkan nilai-nilai lama. Kedua, para sosialis yang berpengaruh di Tegal dan Brebes lalu ikut mendirikan Komite Nasional Indonesia. Ketiga, golongan PKI ‘bawah tanah’ yang cukup berpengaruh dalam GBP3D. Persatuan yang nyaris menjadi kesatuan sebagaimana ucapan Suleman, seorang camat revolusioner:
Tidak ada perbedaan dulu antara agama dan bukan-agama. Haji Zaini dan Nasron tidur di tempat saya dan ngomong-ngomong sampai pukul duabelas malam atau pukul tiga pagi. Apakah ada perbedaan konsepsi mengenai revolusi? Tidak ada. Waktu itu masih zaman “Merdeka”. Apa artinya merdeka? Merdeka berarti lepas dari penjajahan. Kami sudah tahu bahwa Kromo Lawi, PKI serta kaum sosialis Tegal (kelompok KNI) adlaah berbeda. Di tingkat daerah kami mengikuti siapa pun yang progresif.
Para elite lokal mengidap kebimbangan dan kelambanan untuk segera setuju menanggapi Proklamasi 17 Agustus 1945, ketergantungan ekonomi dan politik kepada Belanda dan Jepang, dan ketakutan kehilangan status. Rakyat pun bergerak lakukan dombreng untuk menyingkirkan para elite lama; seperti yang dialami salah seorang bupati dan istrinya yang dipaksa menanggalkan pakaian kebesarannya lalu mengenakan pakaian dari karung goni, diarak keliling kota, dipaksa minum air mentah, dan makan makanan ayam. Peristiwa ini memang hanya terjadi dalam hitungan bulan, Oktober sampai Desember 1945. Meskipun terhitung ‘berhasil’, namun pemerintah pusat ketika itu masih berbeda pandang-dengar. Perdana Menteri Syahrir yang menulis pamflet Perdjoeangan Kita pun enggan memperpanjang dialog, seraya lebih memperhatikan perlawanan Republik terhadap Sekutu, terutama pertempuran di Ambarwa. Padahal Syahrir menulis bahwa “pangreh praja itu sebenarnyalah merupakan sebuah alat yang dibentuk oleh kolonialisme Belanda dari kaum feudal dalam masyarakat.” Meskipun pandangan ini dianut pula oleh K. Mijaya dan Sarjio—keduanya pemimpin terkemuka dalam Peristiwa Tiga Daerah—namun Syahrir lepas tanggung jawab dari apa yang terjadi di Pekalongan.
Para pahlawan lokal yang seringkali berselisih paham dan berbeda jalan dengan penguasa nasional tentang makna kemerdekaan harus bersiap memberikan sejumlah dalih, tawar-menawar keadaan, dan tunduk pada kemapanan suatu rezim. Namun kini seiring semangat “disenggol mekar” alias golkar, sejumlah elite politik lokal perlu legitimasi historis untuk melempangkan jalan daerahnya agar layak menjadi daerah unik tersendiri. Begitu pula semangat “mulok” alias muatan lokal yang mulai berani menggugat konsensus nasional  atas beberapa peristiwa sejarah lokal. Semisal Arung Palakka yang mulai sejajar dengan Sultan Hasanuddin untuk periode abad 17.
Sementara itu, para veteran yang pernah berjuang mempertahankan kemerdekaan, mengalami apa yang Oesmar Ismail sutradarai dalam film Lewat Djam Malam. Menanggalkan seragam militer dan menggantungkan senjata, lalu kembali menjadi warga sipil hanya untuk mengidap kekecewaan karena harus menyuap, menyogok, dan membayar sejumlah upeti kepada rekan penguasa dan tentu saja penguasa. Sebagian veteran tetap aktif sebagai militer—baik dari KNIL, Peta, maupun beberapa milisi lokal—untuk mempertahankan doktrin dwifungsi ataupun berjuang menjadi penguasa sipil. Para veteran yang terlibat dalam Petisi 70 berani menggugat penguasa meskipun sama-sama berlatar belakang militer. Mereka dibungkam dan dicekal namun mereka melawan. Mereka tetap miliki semangat djoeang ’45. Mereka—para purnawirawan itu—melawan penguasa bukan kekuasaan. Bila dahulu John Ingleson menyederhanakan perjuangan menuju kemerdekaan sebagai perjuangan “sini lawan sana” atau “kulit coklat lawan kulit putih”, kini keadaan berbeda. Sesama penghuni sini saling melawan. Akan tetapi sejarah tidak pernah begitu sederhana sesederhana tesis John Ingleson, apabila kita menilai Dekker bersaudara. Dekker pertama yang menulis novel Max Havelaar; dan Dekker kedua yang merupakan salah satu rangkai dari Tiga Serangkai.
Revolusi memakan anaknya sendiri,” kira-kira inilah ungkapan yang selaras dengan apa yang terjadi pada sebagian pejuang yang mulanya pahlawan namun berujung pelawan. Sama-sama memperjuangkan kemerdekaan, namun bersilang jalan lalu kalah kuasa sehingga terbunuh, dihukum mati, dibuang, dipenjara, dan sebagian lagi kecewa karena “mengisi kemerdekaan” sarat dengan kepentingan dan uang. Itulah yang terjadi pada Amir Syarifuddin, Tan Malaka, Otto Iskandardinata, dan mungkin Bung Tomo yang baru-baru ini ‘resmi’ menjadi pahlawan meskipun foto beliau sewaktu membakar semangat arek-arek Suroboyo sudah kadung tayang di buku-buku sejarah sedari dulu. Akhirnya keputusan penguasa yang selalu politis itulah yang “resmi” menempatkan “siapa menjadi apa”. Para veteran pun—baik pahlawan maupun pelawan—tidak berharap kelak mereka meninggal, pusara mereka di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, ataupun Cikutra. Merdeka!

0 komentar:


 
Copyright © 2011. Ilmu Pengetahuan Dunia . All Rights Reserved
Home | Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Site map
Design by IPD . Published by IPD Templates