Selain menulis Sumatra Barat; Pos Terdepan Republik, Audrey R. Kahin juga selaku editor mengumpulkan tulisan-tulisan serupa dalam Pergolakan Daerah pada Awal Kemerdekaan yang terbit pada 1990. Pertama kali terbit pada 1985 dengan judul Regional Dynamics of the Indonesian Revolution.
Audrey Kahin membagi tiga bab: Daerah-Daerah yang Bebas dari Kekuasaan
Luar, Medan Pertempuran bagi Negara-Negara yang Bersaing, dan
Daerah-Daerah yang didominasi Belanda. Anton E. Lucas menulis Peristiwa Tiga Daerah; Revolusi Sosial atau Pemberontakan?.Adapun Robert Cribb menulis Jakarta; Kerjasama dan Perlawanan dalam Kota yang Diduduki. Berbeda dengan disertasi keduanya yang telah dibukukan, dalam Pergolakan Daerah pada Awal Kemerdekaan kedua tulisan itu tersaji dalam bentuk yang lebih ringkas.
Beberapa karya sejarah lainnya yang juga membahas sudut pandang lokal terhadap kemerdekaan nasional. Pertama, John R. W Smail menulis Bandung in the the Early Revolution1945-1946; a Study in the Social History of the Indonesian Revolution yang terbit pertama kali pada1964 yang terjemahannya berjudul Bandung Awal Revolusi 1945-1946 terbitan Ka Bandung Komunitas Bambu pada 2011. Kedua, Robert Cribb.yang menulis Gangster and Revolutionaries; the Jakarta’s People Militia and the Indonesian Revolution yang terbit lagi pada 2009. Terdapat dua versi terjemahannya: Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1949: Pergulatan antara Otonomi dan Hegemoni terbitan Pustaka Utama Grafiti pada 1990 dan Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949 pada 2010. Lalu ketiga yang merupakan kajian terbaru, Wenri Wanhar yang menulis Peristiwa Gedoran Depok; Revolusi Sosial di Tepi Jakarta 1945-1955 pada 2011 lalu.
Perbedaan pada masa revolusi (1945-1949)
begitu mudah mengemuka dan terpercik menjadi konflik sosial sebagaimana
Anton E. Lucas tuliskan dalam The Bamboo Spear Pierces the Payung; the Revolution against the Bureucratic Elite in North Central Java in 1945 yang terbit pertama kali pada 1980, bermula dari Disertasi untuk Australian National University. Delapan tahun kemudian terjemahannya terbit berjudul Peristiwa Tiga Daerah; Revolusi dalam Revolusi terbitan Pustaka Utama Grafiti pada1989. Dua tahun kemudian, Lucas terbitkan One Struggle One Soul; Region and Revolution in Indonesia terbitan Asian Studies Association of Australia in association with Allen and Unwim pada
1991 yang menyempurnakan edisi pertama. Baru tujuhbelas tahun kemudian
terjemahannya terbit oleh Resist Book. Ilmu Sejarah memandang lumrah
suatu karya revisi sejarah selama terpenuhi setidaknya salah satu dari
tiga syarat: bukti baru (novum), sudut pandang baru, dan/ atau penerapan teori baru. Itulah yang terjadi pada Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang karya Benedict Anderson dan Kamus Sejarah Indonesia karya dua sejarawan tersohor, Robert Cribb dan Audrey Kahin—istri dari George McTurnan Kahin yang menulis Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia 1945-1949. Kedua karya tulis sejarah tersebut sudah terdapat versi terjemahannya.
Mencermati judulnya saja, “tombak bambu yang
menusuk payung” sudah membuat Disertasi itu menjadi menarik. Lebih
menarik lagi, kata “payung” oleh Anton E. Lucas tidak lantas
diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris begitu saja menjadi “umbrella”
tetapi tetap sebagaimana kata Bahasa Indonesianya. “Payung” merupakan
lambang priyayi dan pangreh praja, tidak hanya melindungi dari terik
panas dan basah hujan namun melambangkan kedudukan yang lebih tinggi
daripada rakyat biasa. Adapun “bambu” merupakan lambang kesederhanaan
dan kesehajaan setiap rakyat kecil, namun senjata ampuh ‘mengusir’
penjajah dan musuh. Setiap kita pasti akrab dengan gambar dan cerita
bambu runcing semasa perjuangan mempertahankan kemerdekaan setiap kali
kita merayakan Hari Kemerdekaan. Bila Anda menganut falsafah “no document no history”,
maka Anda kelak kecewa karena sepenuhnya Anton E. Lucas menjalin
untaian peristiwa menggunakan metode sejarah lisan alias wawancara.
Dari ketiga golongan yang bergerak
menyingkirkan elite lama seperti kepala desa, camat, wedana, bupati, dan
pemimpin lama lainnya; golongan kiri merupakan bagian terbesar.
Golongan kiri sendiri pun terbagi tiga. Pertama, para mantan
pemberontak komunis 1926 yang pernah dibuang ke Boven Digul dan merasuk
ke dalam Barisan Pelopor dan Badan Pekerja di Tegal dan Brebes, Angkatan
Muda Republik Indonesia (AMRI), dan Gabungan Badan Perjuangan Tiga
Daerah (GBP3D); mereka sama sekali menolak kompromi dan hendak
menjungkirbalikkan nilai-nilai lama. Kedua, para sosialis yang berpengaruh di Tegal dan Brebes lalu ikut mendirikan Komite Nasional Indonesia. Ketiga,
golongan PKI ‘bawah tanah’ yang cukup berpengaruh dalam GBP3D.
Persatuan yang nyaris menjadi kesatuan sebagaimana ucapan Suleman,
seorang camat revolusioner:
Tidak ada perbedaan dulu antara agama dan
bukan-agama. Haji Zaini dan Nasron tidur di tempat saya dan
ngomong-ngomong sampai pukul duabelas malam atau pukul tiga pagi. Apakah
ada perbedaan konsepsi mengenai revolusi? Tidak ada. Waktu itu masih
zaman “Merdeka”. Apa artinya merdeka? Merdeka berarti lepas dari
penjajahan. Kami sudah tahu bahwa Kromo Lawi, PKI serta kaum sosialis
Tegal (kelompok KNI) adlaah berbeda. Di tingkat daerah kami mengikuti
siapa pun yang progresif.
Para elite lokal mengidap kebimbangan dan
kelambanan untuk segera setuju menanggapi Proklamasi 17 Agustus 1945,
ketergantungan ekonomi dan politik kepada Belanda dan Jepang, dan
ketakutan kehilangan status. Rakyat pun bergerak lakukan dombreng
untuk menyingkirkan para elite lama; seperti yang dialami salah seorang
bupati dan istrinya yang dipaksa menanggalkan pakaian kebesarannya lalu
mengenakan pakaian dari karung goni, diarak keliling kota, dipaksa
minum air mentah, dan makan makanan ayam. Peristiwa ini memang hanya
terjadi dalam hitungan bulan, Oktober sampai Desember 1945. Meskipun
terhitung ‘berhasil’, namun pemerintah pusat ketika itu masih berbeda
pandang-dengar. Perdana Menteri Syahrir yang menulis pamflet Perdjoeangan Kita
pun enggan memperpanjang dialog, seraya lebih memperhatikan perlawanan
Republik terhadap Sekutu, terutama pertempuran di Ambarwa. Padahal
Syahrir menulis bahwa “pangreh praja itu sebenarnyalah merupakan sebuah alat yang dibentuk oleh kolonialisme Belanda dari kaum feudal dalam masyarakat.”
Meskipun pandangan ini dianut pula oleh K. Mijaya dan Sarjio—keduanya
pemimpin terkemuka dalam Peristiwa Tiga Daerah—namun Syahrir lepas
tanggung jawab dari apa yang terjadi di Pekalongan.
Para pahlawan lokal yang seringkali
berselisih paham dan berbeda jalan dengan penguasa nasional tentang
makna kemerdekaan harus bersiap memberikan sejumlah dalih, tawar-menawar
keadaan, dan tunduk pada kemapanan suatu rezim. Namun kini seiring
semangat “disenggol mekar” alias golkar, sejumlah elite politik lokal
perlu legitimasi historis untuk melempangkan jalan daerahnya agar layak
menjadi daerah unik tersendiri. Begitu pula semangat “mulok” alias
muatan lokal yang mulai berani menggugat konsensus nasional atas
beberapa peristiwa sejarah lokal. Semisal Arung Palakka yang mulai
sejajar dengan Sultan Hasanuddin untuk periode abad 17.
Sementara itu, para veteran yang pernah
berjuang mempertahankan kemerdekaan, mengalami apa yang Oesmar Ismail
sutradarai dalam film Lewat Djam Malam. Menanggalkan seragam
militer dan menggantungkan senjata, lalu kembali menjadi warga sipil
hanya untuk mengidap kekecewaan karena harus menyuap, menyogok, dan
membayar sejumlah upeti kepada rekan penguasa dan tentu saja penguasa.
Sebagian veteran tetap aktif sebagai militer—baik dari KNIL, Peta,
maupun beberapa milisi lokal—untuk mempertahankan doktrin dwifungsi
ataupun berjuang menjadi penguasa sipil. Para veteran yang terlibat
dalam Petisi 70 berani menggugat penguasa meskipun sama-sama berlatar
belakang militer. Mereka dibungkam dan dicekal namun mereka melawan.
Mereka tetap miliki semangat djoeang ’45. Mereka—para
purnawirawan itu—melawan penguasa bukan kekuasaan. Bila dahulu John
Ingleson menyederhanakan perjuangan menuju kemerdekaan sebagai
perjuangan “sini lawan sana” atau “kulit coklat lawan kulit putih”,
kini keadaan berbeda. Sesama penghuni sini saling melawan. Akan tetapi
sejarah tidak pernah begitu sederhana sesederhana tesis John Ingleson,
apabila kita menilai Dekker bersaudara. Dekker pertama yang menulis
novel Max Havelaar; dan Dekker kedua yang merupakan salah satu rangkai dari Tiga Serangkai.
“Revolusi memakan anaknya sendiri,”
kira-kira inilah ungkapan yang selaras dengan apa yang terjadi pada
sebagian pejuang yang mulanya pahlawan namun berujung pelawan. Sama-sama
memperjuangkan kemerdekaan, namun bersilang jalan lalu kalah kuasa
sehingga terbunuh, dihukum mati, dibuang, dipenjara, dan sebagian lagi
kecewa karena “mengisi kemerdekaan” sarat dengan kepentingan dan uang.
Itulah yang terjadi pada Amir Syarifuddin, Tan Malaka, Otto
Iskandardinata, dan mungkin Bung Tomo yang baru-baru ini ‘resmi’ menjadi
pahlawan meskipun foto beliau sewaktu membakar semangat arek-arek
Suroboyo sudah kadung tayang di buku-buku sejarah sedari dulu. Akhirnya
keputusan penguasa yang selalu politis itulah yang “resmi” menempatkan
“siapa menjadi apa”. Para veteran pun—baik pahlawan maupun pelawan—tidak
berharap kelak mereka meninggal, pusara mereka di Taman Makam Pahlawan
(TMP) Kalibata, ataupun Cikutra. Merdeka!
0 komentar:
Posting Komentar